Rabu, 10 Juni 2009

Penerapan Multiple Intelligence di Sekolah

Pembelajaran Model Multiple Intelligence

Teori Multiple Intelligence (MI) bergema sangat kuat di kalangan pendidik karena menawarkan model untuk bertindak sesuai dengan yang pendidik yakini, semua anak memiliki kelebihan. Banyak dari pendidik yang diajari untuk berfokus pada kurikulum ketika membuat rencana pembelajaran, berkonsentrasi untuk membantu siswa mengikuti kurikulum, di lain pihak, MI adalah sebuah model yang mengutamakan siswa dan kurikulum sering dimodofikasi agar sesuai dengan siswa.

Tidak ada cara tunggal untuk menerapkan MI. Tak adanya cara tunggal untuk penerapan merupakan salah satu sisi menarik model ini, tetapi juga salah satu kelemahannya. Setiap sekolah menerapkan cara yang berbeda-beda dalam menggunakan MI. Bagusnya adalah bahwa setiap guru, atau setiap tim guru, dapat menggunakan MI dengan cara yang dapat mencerminkan keunikan konteks dan kultur sekolah mereka. Kebebasan dalam penerapan ini menghargai profesionalisme guru dan memercayai penilaian mereka tentang bagaimana jalan terbaik untuk memenuhi kebutuhan siswa.

Namun kebebasan ini juga bisa berarti, MI mungkin saja disalahartikan. Gardner telah menuliskan keprihatinannya tentang guru yang memutar musik sebagai latar belakang dan meyakini bahwa mereka memenuhi kebutuhan siswa dengan kecerdasan musikal, atau guru yang membolehkan siswa merangkak di lantai selama pelajaran matematika, dengan anggapan bahwa mereka memberi peluang pada kecerdasan kinestetik tubuh. MI bisa menjadi alat yang ampuh untuk meraih siswa, tetapi menggunakannya secara efektif menuntut guru mencurahkan waktu dan tenaga untuk memahami teori MI dan kemudian memutuskan bagaimana teori ini dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum, pengajaran, dan sistem penilaian kemajuan siswa.

Berikut beberapa cara untuk melatih dan mengembangkan multiple intelligence di dalam ruang kelas seperti yang tertulis dalam Genius Learning Stra-tegy-nya Adi W. Gunawan.

1. Interpersonal

a. Kembangkan kerja sama di antara murid.

b. Lakukan pengelompokan secara acak maupun dengan kriteria tertentu.

c. Jelaskan cara anda melakukan pengelompokan dan ragam dari metode pembelajaran yang anda gunakan.

d. Ajarkan pada murid bagaimana bersikap dan bermain dengan rekannya.

e. Tetapkan aturan kelas bersama dengan murid.

f. Tetapkan tujuan pembelajaran dan bekerja bersama mencapai tujuan.

2. Intrapersonal

a. Sediakan waktu yang cukup untuk melakukan refleksi dan berpikir.

b. Bersikap sabar dan menjawab pertanyaan yang bersifat terbuka dan filosofis (membutuhkan jawaban mendalam).

c. Pelajari filosofi untuk anak-anak dan gunakan untuk tambahan materi.

d. Perhatikan dan hargai perasaan dan motivasi sebagai bagian dari kesempatan berbagi cerita, pengalaman, dan kesan.

e. Gunakan peta pikiran dan tembok aspirasi/mural.

f. Gunakan label positif untuk setiap siswa.

3. Linguistik

a. Kurangi waktu bicara anda dan beri kesempatan lebih banyak untuk murid berbicara.

b. Libatkan diskusi, debat, dan collaborative learning.

c. Beri kesempatan pada anak untuk menjelaskan pengertiannya dengan menggunakan bahasanya sendiri.

d. Gunakan teknik kata atas kalimat kunci.

e. Ajarkan dan minta anak untuk menyusun presentasi atau makalah.

f. Ajarkan pada anak teknik berbicara dan mendengar yang baik dan benar.

4. Matematika dan Logika

a. Jelaskan langkah yang anda gunakan dalam mengajar dan jelaskan mengapa anda menggunakan cara tersebut.

b. Sering-sering menggunakan angka dan permainan yang melibatkan angka.

c. Carilah hubungan antara matematika dan praktik kehidupan sehari-hari.

d. Ajarkan cara melakukan kategorisasi, klasifikasi, prioritas, dan ketrampilan memprediksi.

e. Ajarkan metode pemecaham masalah yang dapat digunakan dalam berbagai disiplin ilmu dan keadaan.

f. Promosikan permainan yang melibatkan kemampuan berpikir lateral.

5. Visual dan Spasial

a. Gunakan poster atau peta pikiran sebagai referensi.

b. Ganti poster atau peta pikiran secara rutin.

c. Ajarkan cara membuat peta pikiran, poster, flowchart atau grafik untuk melengkapi kemampuan murid dalam mencatat.

d. Gunakan model atau alat peraga.

e. Beri tugas yang melibatkan pembuatan gambar atau poster.

f. Gunakan tubuh anda sebagai alat bantu visual dan spasial dalam menyampaikan materi pembelajaran.

6. Kinetestik

a. Libatkan fisik secara umum dalam proses pembelajaran.

b. Lakukan rehearsal melalui gerakan, permainan peran, simulasi, dan kegiatan praktis lainnya.

c. Berikan rehat fisik secara rutin sambil melakukan permainan.

d. Beri kesempatan pada murid untuk mengungkapkan pengertiannya dengan membuat atau memanipulasi obyek.

e. Buatlah montase atau mural.

f. Tetapkan target untuk meningkatkan diri dalam bidang olahraga atau kecakapan yang melibatkan kemampuan koordinasi tubuh.

7. Musik

a. Gunakan musik sebagai tanda waktu untuk mengerjakan tugas, untuk memulai dan mengakhiri sesi pembelajaran, atau mengubah mood, dan untuk meningkatkan energi atau relaksasi.

b. Gunakan musik untuk membantu mengingat materi.

c. Ajarkan dan tingkatkan ketertarikan murid pada musik melalui pelatihan atau kegiatan ekstra kurikuler.

d. Beri kesempatan pada murid untuk menceritakan musik kesukaannya, mengapa ia suka musik tersebut, dan izinkan ia memainkan atau mendengarkan musik itu di kelas.

e. Bermain dengan musik/lagu dengan cara mengubah lirik, nada, tempo, volume atau keras-lembut, sebagai bagian dari eksplorasi ke dunia musik.

f. Memainkan berbagai jenis lagu atau musik dan meminta murid untuk menjelaskan apa yang mereka rasakan.

8. Naturalis

a. Melakukan perjalanan ke lingkungan, misalnya ke kebun raya atau ke taman safari.

b. Belajar di alam terbuka.

c. Mempelajari kejadian alam seperti gempa bumi, gunung meletus, hujan dan banjir, pasang surut air laut, dan implikasinya bagi umat manusia.

d. Mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi ekosistem.

e. Mempelajari pengaruh perbuatan manusia terhadap alam, baik itu berpengaruh positif maupun yang negatif, langsung maupun tidak langsung.

f. Memelihara hewan atau tanaman di sekolah/kelas dan berinteraksi dengan mereka secara rutin.

Teori Multiple Intelligence

Latar Belakang Multiple Intelligence

Dr. Howard Gardner, Co. Director of Project Zero dan guru besar di Harvard University, selama bertahun-tahun telah melakukan penelitian tentang perkembangan kapasitas kognisi manusia. Ia telah mendobrak tradisi umum teori kecerdasan yang menganut dua asumsi dasar, bahwa kognisi manusia itu bersifat satu kesatuan dan bahwa setiap individu dapat dijelaskan sebagai makhluk yang memiliki kecerdasan yang dapat diukur dan tunggal. Setiap kecerdasan memiliki ciri perkembangan, dan dapat diamati dalam populasi tertentu.

Gardner berpendapat bahwa kecerdasan manusia tidak dapat disimpulkan hanya dengan penilaian IQ saja, karena nilai tes IQ hanya menggambarkan dua jenis kecerdasan saja, yaitu kecerdasan bahasa dan logika matematika. Tes IQ bukan mengukur kualitas yang dibutuhkan untuk sukses seperti kemauan keras, percaya diri, dan motivasi. Meskipun nilai IQ seseorang sangat tinggi, pada suatu waktu tanpa pendidikan yang mendukung kecerdasannya (kurang stimulus, masalah keluarga, kurang tantangan, dan lain sebagainya), nilai IQ bisa mengalami penurunan dan tidak menjamin kesuksesan dalam menjalani hidup.

Saat sedang bekerja di Boston Veterans Administration Medical Center, dia menyadari bahwa pasien dengan kerusakan otak kehilangan kemampuan yang berbeda bergantung lokasi cederanya. Sebagai contoh, kerusakan pada cuping depan (frontal lobe) mengakibatkan kesulitan berbicara dengan tata bahasa yang benar, meskipun tidak memengaruhi kemampuan untuk memahami apa yang dikatakan. Dalam bukunya Frames of Mind, Gardner mengatakan,

“... ketidakmampuan berbahasa yang lebih spesifik ternyata berhubungan dengan daerah tertentu di otak; ini termasuk kesulitan dalam mengulang, menamai, membaca, dan menulis.” (1983, hal. 51)

Dia mencatat bahwa beberapa orang yang mengalami alphasia (kehilangan kemampuan berbahasa) karena kerusakan otak dapat mempertahankan kemampuan musikal mereka. Dan sebaliknya, beberapa orang lainnya mengalami kehilangan kecakapan musikal mereka tetapi masih mampu berbahasa. Bagi Gardner, kehilangan yang berbeda-beda ini menunjukkan bahwa ada dasar biologis untuk setiap kecerdasan tertentu. Berangkat dari definisi bahwa kecerdasan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau menciptakan sesuatu yang bernilai dalam suatu budaya, Gardner mengembangkan seperangkat kriteria untuk menentukan serangkaian kecakapan yang membangun kecerdasan. Kriteria ini difokuskan pada menyelesaikan masalah dan menciptakan produk, dan didasarkan pada fondasi biologis dan aspek psikologis dari kecerdasan. Dia mengemukakan bahwa sebuah kemampuan dapat dianggap sebagai kecerdasan jika memenuhi beberapa (tidak perlu semua) kriteria di bawah ini.

1. Memiliki potensi untuk terisolasikan karena kerusakan otak. Sebagai contoh, suatu kerusakan otak, seperti yang terjadi pada penyakit stroke dapat menimbulkan seseorang kehilangan kemampuan berbahasa.

2. Ditunjukkan dengan keberadaan idiot-genius (orang cacat yang menunjukkan kegeniusan dalam bidang spesifik, seperti matematika atau musik), berbakat, individu luar biasa lainnya yang memperlihatkan tingkat kecakapan tinggi pada satu bidang. Sebagai contoh, dengan mengamati orang yang memperlihatkan kemampuan luar biasa dalam satu jenis kecerdasan, kita dapat melihat kecerdasan tersebut secara tersendiri atau terisolasi dari kecerdasan-kecerdasan lainnya.

3. Memiliki operasi (proses) inti atau seperangkat operasi yang dapat dikenali. Kecerdasan musikal terdiri dari kepekaan terhadap melodi, harmoni, irama, nada, dan struktur musik. Kecerdasan berbahasa terdiri dari kepekaan pada struktur dan tata kalimat, kosakata, ritme, irama, serta perangkat sastra (seperti aliterasi atau pengulangan bunyi yang sama pada suku kata pertama).

4. Memiliki sejarah perkembangan yang berbeda, berikut serangkaian kinerja puncak yang bisa didefinisikan. Atlet, penyair, dan salesman menunjukkan karakteristik kinerja seperti ini.

5. Memiliki sejarah evolusioner atau probabilitas evolusioner. Binatang menunjukkan bentuk-bentuk kecerdasan spasial, dan burung memiliki kecerdasan musikal.

6. Didukung oleh uji psikologis. Tes dapat menunjukkan bagaimana kecerdasan itu berdiri sendiri atau saling berhubungan.

7. Didukung oleh temuan-temuan psikometrik. Sebagai contoh, sederetan tes dapat mengungkapkan kecerdasan mana yang mencerminkan faktor tersembunyi yang sama.

8. Memiliki kelemahan terhadap pengodean ke dalam sistem simbol. Kode-kode seperti bahasan, peta, angka, dan ekspesi wajah menangkap komponen-komponen dari beragam kecerdasan.

Definisi kecerdasan yang didukung oleh kriteria-kriteria tersebut -kemampuan untuk menyelesaikan masalah atau menciptakan suatu produk yang bernilai dalam masyarakat-sangat berbeda dari definisi kecerdasan yang digambarkan dalam tes standar dan tes bakat (tes yang didasarkan pada kefasihan berbicara, kosakata luas, dan kecakapan berhitung). Sementara definisi kecerdasan tradisional berfokus pada pengetahuan dan kecakapan lembam yang hanya berguna di sekolah, definisi Gardner jauh lebih luas.

Setelah menerapkan kriterianya itu, Gardner berkesimpulan bahwa ada lebih banyak kecerdasan daripada yang direkomendasikan oleh tes IQ dan yang biasanya dihargai di sekolah. Tentu saja, Gardner bukanlah orang yang pertama mengemukakan bahwa ada lebih dari satu kecerdasan. Beberapa dekade lalu, J.P. Guilford menciptakan Struktur Kecerdasan, sebuah model yang mengidentifikasi lebih dari 90 macam kapasitas intelektual. Robert Sternberg juga telah mengembangkan Triarchic Theory of Intelligence, yang mengandung tiga bentuk kecerdasan. Baru-baru ini, Daniel Goleman dengan “Kecerdasan Emosi” dan Robert Coles dengan “Kecerdasan Moral”-nya telah mendapatkan banyak perhatian.

Semua teori tersebut sama-sama berkeyakinan bahwa kecerdasan merupakan kapasitas dengan banyak segi dan kompleks. Model Gardner berbeda dengan teori lain dalam dimensi, basis ilmiah, dan implikasinya terhadap pendidikan.

Pengertian Multiple Intelligence (Kecerdasan Ganda)

Howard Gardner mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan menghasilkan produk yang bernilai dalam masyarakat. Ia juga mendefinisikan kecerdasan sebagai potensi biopsikologi untuk memproses bentuk-bentuk informasi yang spesifik dalam cara-cara tertentu.

Berdasarkan kriteria kecerdasan seperti yang telah disebutkan di atas, Gardner menemukan setidaknya manusia memiliki 8 bentuk kecerdasan. Teorinya tersebut disebut dengan Multiple Intelligence (Kecerdasan Ganda).

Multiple Intelligence is a natural way to structure learning. All the aspects of the person are taught to, meaning can be extracted, and applications can be made to life. The children in our classromm are multifaceted and have many apibilities.

Kecedasan ganda adalah cara dasar pada pembelajaran stuktur. Semua aspek-spek manusia telah dipelajari juga, arti dapat dikutip dan penerapan dapat dibuat untuk hidup. Peserta didik di kelas beraneka ragam dan memiliki banyak kemampuan.

Menurut Gardner, multiple intelligence adalah kemampuan menyelesaikan masalah dan menciptakan produk yang dibuat dalam satu atau beberapa budaya. Ia mendefinisikan multiple intelligence sebagai kecerdasan yang dimiliki seseorang, baik itu dalam bentuk kreativitas, kemampuan berpikir, atau ketrampilan.

Penelitian Gardner telah menjelaskan kecerdasan manusia sebelumnya, serta menghasilkan definisi tentang konsep kecerdasan yang sungguh pragmatis. Gardner tidak memandang kecerdasan manusia berdasarkan tes standar, namun Gardner menjelaskan kecerdasan sebagai berikut.

1. Kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan nyata.

2. Kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan.

3. Kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang.

“Menciptakan suatu produk” dapat mencakup mengubah kanvas kosong menjadi lukisan yang menggugah emosi, atau juga bisa berarti membentuk dan memimpin sekelompok orang yang semula tidak pernah bisa bersepakat dalam hal apa pun menjadi sebuah tim produktif. Definisi “menyelesaikan masalah atau menciptakan sebuah produk” bersifat pragmatis, berfokus pada penggunaan kemampuan dalam situasi kehidupan nyata.

Teori kecerdasan ganda merupakan validasi tertinggi gagasan bahwa perbedaan individu adalah penting. Pemakaiannya dalam pendidikan tergantung pada pengenalan, pengakuan, dan penghargaan terhadap minat dan bakat masing-masing. Teori kecerdasan ganda bukan hanya mengakui perbedaan individual ini untuk tujuan praktis, tetapi juga menganggap sebagai sesuatu yang normal, wajar, dan sangat berharga.

Di sisi lain, Gardner menjelaskan bahwa kecerdasan ganda mempunyai karakteristik konsep sebagai berikut.

1. Semua intelejensi itu berbeda-beda.

2. Semua kecerdasan dimiliki manusia dalam kadar yang berbeda.

3. Semua kecerdasan dapat diekslorasi, ditumbuhkan, dan dikembangkan secara optimal.

4. Adanya indikator kecerdasan dalam tiap-tiap kecerdasan. Dengan latihan, seseorang dapat membangun kekuatan kecerdasan yang dimiliki.

5. Semua kecerdasan-kecerdasan tersebut bekerja sama mewujudkan aktivitas yang dilakukan individu.

6. Semua jenis kecerdasan ditemukan di semua lintasan kebudayaan di dunia dan kelompok manusia.

7. Kecerdasan dapat diekspresikan melalui profesi dan hobi.

Bentuk Multiple Intelligence (Kecerdasan Ganda)

Dalam teori multple intellligence terdapat delapan jenis kecerdasan, yaitu:

1. Linguistik: kemampuan dalam bidang bahasa.

2. Matematika dan logika: suka ketetapan dan menyukai berpikir abstrak dan struktur.

3. Visual dan spasial: berpikir dengan menggunakan gambar, termasuk gambar-an mental, cakap bekerja dengan peta, grafik dan diagram, menggunakan gerak-an untuk membantu pelajaran.

4. Musik: sensitif terhadap mood dan emosi, menyukai dan mengerti musik.

5. Interperpesonal: mudah bergaul, mediator, pintar berkomunikasi.

6. Intrapersonal: mengerti perasaan sendiri, dapat memotivasi diri sendiri, mengerti siapa dirinya, mengerti dan sangat memerhatikan nilai dan etika hidup.

7. Kinestetik: kemampuan pengendalian fisik yang sangat baik, ahli dalam pekerjaan tangan, suka menyentuh, dan memanipulasi obyek.

8. Naturalis: mencintai lingkungan/alam, mampu menggolongkan obyek, mengenali, dan berinteraksi dengan hewan dan tanaman.

Bila semua kecerdasan ini ditumbuhkan, dikembangkan, dan dilibatkan dalam proses pembelajaran, menurut hasil penelitian oleh para pakar accelerated learning dan motede pembelajaran modern, maka akan sangat meningkatkan efektivitas dan hasil pembelajaran. Berikut penjelasan masing-masing bentuk kecerdasan seperti yang tertulis dalam buku Genius Learning Strategy karya Adi W. Gunawan.

1. Kecerdasan Linguistik

Kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan kata-kata secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan. Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk menangani struktur bahasa (sintaksis), suara (fonologi), dan arti (semantik).

Kecerdasan linguistik bersifat universal. Daerah Broca di otak kita bertanggung jawab terhadap kemampuan berkomunikasi dan menghasilkan kalimat dengan struktur tata bahasa yang benar. Sedangkan daerah yang menangani pengertian terhadap informasi verbal yang kita dengar adalah daerah Wernick pada lobus temporal.

Kemampuan mempelajari bahasa ada pada diri setiap anak. Tidak peduli anak itu lahir di mana dan dari suku bangsa atau negara apa, apabila ia mendapat rangsangan auditori, anak akan mampu berbicara dengan bahasa yang digunakan di komunitasnya. Rangsangan auditori ini tentunya adalah bahasa yang digunakan orang tuanya.

Untuk bisa berhasil dalam mempelajari suatu bahasa, mutlak dibutuhkan suatu lingkungan yang penuh dukungan, yang memperbolehkan terjadinya kesalahan dalam proses pembelajaran, lingkungan yang menyenangkan dan menantang. Lingkungan seperti ini sangat menentukan kecepatan dan keberhasilan penguasaan suatu bahasa, pada masa-masa puncak daya serap dan kemampuan anak mempelajari bahasa ibunya. Dr. Georgi Lazanov sangat memahami persyaratan ini dan berhasil menciptakan kembali, melalui teknik suggestopedic yang ia kembangkan, suasana yang sangat kondusif ini. Tidak heran bila orang yang belajar bahasa asing dengan teknik ini mempunyai tingkat keberhasilan yang sangat tinggi dengan kecepatan yang luar biasa.

Kecerdasan linguistik mencakup kepekaan terhadap arti kata, urutan kata, suara, ritme, dan intonasi dari kata yang diucapkan. Termasuk kemampuan untuk mengerti kekuatan kata dalam mengubah kondisi pikiran dan menyampaikan informasi.

Anak dengan kecerdasan linguistik yang terasah dengan baik akan menunjukkan kesukaan dalam bermain dan memanipulasi kata. Mereka biasanya mempunyai perbendaharaan kata yang luas. Mereka menyukai puisi, rima, permainan kata, dan pintar mengekspresikan diri mereka melalui bahasa tulisan maupun lisan.

2. Kecerdasan Matematika dan Logika

Orang dengan kecerdasan matematika dan logika yang berkembang adalah orang yang mampu memecahkan masalah, mampu memikirkan dan menyusun solusi dengan logis. Mereka suka angka, urutan, logika, dan keteraturan. Mereka dapat mengerti pola dan hubungan serta mampu melakukan proses berpikir deduktif dan induktif.

Menurut Gardner, model perkembanngan kognitif yang dicetuskan oleh Jean Piaget secara garis besar sebenarnya merupakan gambaran dari pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan matematika dan logika. Jadi, mulai dari interaksi anak dengan obyek dalam ruang dan waktu, melalui pengenalan akan angka dan perkembangan pemahaman akan simbol tersebut dan implikasi dari hipotesis. Sebenarnya di sini kita dapat melihat suatu evolusi dari kecerdasan matematika dan logika.

Anak dengan kecerdasan matematika dan logika yang terasah dengan baik akan suka sekali dalam mencari penyelesaian suatu masalah, menunjukkan suatu minat yang besar terhadap analogi dan silogisme. Mereka suka beraktivitas yang melibatkan angka, urutan, pengukuran, dan perkiraan.

3. Kecerdasan Visual dan Spasial

Kecerdasan visual dan spasial adalah kemampuan untuk melihat dan mengamati dunia visual-spasial secara akurat, dan kemudian bertindak atas persepsi tersebut. Kecerdasan ini melibatkan kesadaran akan warna, garis, bentuk, ruang, ukuran, dan juga hubungan di antara elemen-elemen tersebut.

Jenis kecerdasan ini sangat menonjol dalam diri pemain catur, navigator, arsitek maupun desainer. Penyelesaian masalah dengan kecerdasan ini melibatkan kemampuan untuk melihat obyek dari berbagai sudut pandang, memanipulasi secara tiga dimensi dalam ruang dan waktu. Hemisfir kanan atau otak kanan berperan besar dalam mengendalikan kegiatan ini. Orang yang mengalami kerusakan pada hemisfir kanan sering kehilangan kemampuan untuk mengenali wajah atau tempat, tidak mampu bergerak leluasa di antara benda atau obyek atau menemukan jalan untuk mencapai suatu tempat. Sering kali mereka juga sulit untuk “melihat” melalui mata pikiran mereka (imajinasi).

Kecerdasan visual dan spasial sangat jelas terlihat pada anak-anak. Kemampuan ini terlihat dengan sangat jelas ketika anak bermain dengan melibatkan imajinasi mereka. Pernahkan anda melihat anak memainkan beberapa peran sekaligus, saling berkomunikasi atau main rumah-rumahan dan pasar-pasaran? Sebenarnya saat mereka bermain, mereka menggunakan kecerdasan visual dan spasial. Saat kanak-kanak adalah masa yang paling mudah untuk mengembangkan kecerdasan ini. Sering kali seiring dengan pertambahan usia kita telah kehilangan kemampuan ini, kemampuan untuk menggunakan imajinasi atau visualisasi. Kabar baiknya, kecerdasan atau kemampuan ini, seperti juga kecerdasan lainnya, dapat kita latih dan kembangkan. Tidak jadi masalah berapa usia kita saat ini.

Hasil riset menunjukkan bahwa kemampuan untuk membentuk suatu gambar mental (baca: imajinasi atau visualisasi) melibatkan suatu proses aktivasi rangkaian elekro-kimiawi di otak yang efeknya sama bila kita melihat benda yang nyata. Jadi, baik kita melihat sesuatu yang riil ataukah kita melihat hanya dengan mata pikiran, efek yang timbul akan sama. Hal ini menjelaskan mengapa hanya dengan membayangkan makan jeruk yang masam akan membuat air liur keluar. Efeknya persis sama dengan makan jeruk yang sesungguhnya.

Orang yang telah mengembangkan kecerdasan visual dan spasial mereka dengan baik akan mampu menciptakan kembali gambar dari kejadian atau obyek yang pernah mereka alami, termasuk mengingat kembali emosi yang berhubungan dengan pengalaman mereka.

4. Kecerdasan Musik

Kecerdasan musik adalah kemampuan untuk menikmati, mengamati, membedakan, mengarang, membentuk, dan mengekspresikan bentuk-bentuk musik. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap ritme, melodi, dan timbre dari musik yang didengar.

Otak kanan kita mengendalikan persepsi dan penciptaan musik. Musik adalah bahasa universal. Dalam setiap suku bangsa di dunia ini, musik selalu hadir menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas mereka. Bakat musik muncul pada usia yang sangat dini. Banyak contoh klasik yang dapat kita temui yang membuktikan hal ini. Mozart adalah salah satu contoh yang paling mudah kita ingat.

Musik mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan kemampuan matematika dan ilmu sains dalam diri seorang anak. Murid di suatu sekolah vokal, yang mayoritas kurikulumnya adalah tentang seni dan suara, ternyata menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam bidang matematika. Banyak peneliti yang percaya bahwa kemampuan di bidang matematika dan ilmu sains ini berkembang karena murid sejak kecil telah dilatih memanipulasi nada suara, tempo, ritme, dan mengerti hubungan di antara simbol atau notasi musik.

Saat dilakukan survei di 17 negara terhadap kemampuan anak didik usia 14 tahun dalam bidang sains, ditemukan bahwa anak dari negara Belanda, Jepang, dan Hongaria mempunyai prestasi tertinggi di dunia. Saat diteliti lebih mendalam, ternyata ketiga negara ini memasukkan unsur seni dan musik secara intensif ke dalam kurikulum mereka. Hal ini diperkuat oleh hasil peneltian Dr. Mark Tramko, ahli saraf dari Harvard Medical School, yang membuktikan adanya tumpang tindih pada sel otak yang memproses musik, bahasa, logika-matematika, dan abstract reasoning.

Anak dengan kecerdasan musik yang berkembang akan suka bernyanyi, menyukai ritme musik, puisi, jingle, dan membuat suara-suara yang tidak berarti namun sangat mereka sukai. Mereka dapat belajar dengan lebih maksimal bila musik menemani proses pembelajaran mereka. Mereka dapat membuat lagu dan memasukkan informasi yang ingin mereka pelajari dalam lagu tersebut.

5. Kecerdasan Interpersonal

Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi, dan perasaan orang lain. Kecerdasan ini juga melibatkan kepekaan ekspresi wajah, suara, dan gerakan tubuh dari orang lain dan mampu memberikan respons secara efektif dalam berkomunikasi.

Saat kecerdasan personal, interpersonal, dan intrapersonal digunakan, maka dalam operasinya kecerdasan personal ini cenderung mengaktifkan dan menggunakan bentuk kecerdasan lainnya.

Kecerdasan interpersonal adalah suatu kemampuan untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia orang lain, mengerti pandangan, sikap, kepribadian, dan karakter orang lain. Dengan menggunakan kecerdasan interpersonal, kita akan mampu mengamati perubahan kecil yang terjadi pada mood, perilaku, motivasi, dan perhatian orang lain. Mereka yang berhasil mengembangkan kecerdasan ini dengan sangat baik akan sangat mudah untuk menjadi seorang ahli terapi, konselor, guru, penjual, pembimbing atau mentor, dan pembicara publik.

Murid dengan kecerdasan interpersonal yang berkembang dengan baik akan sangat menikmati kegiatan kelompok dan collaborative learning. Mereka juga sangat suka dengan kegiatan yang mengharuskan mereka melakukan pengamatan interaksi manusia, melakukan wawancara dengan orang dewasa, menetapkan aturan kelas, menentukan dan membagi tugas dan tanggung jawab, dan mengikuti permainan yang melibatkan upaya penyelesaisan suatu konflik.

6. Kecerdasan Intrapersonal

Berbeda dengan kecerdasan interpersonal yang sangat berhubungan dengan diri orang lain, kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kesadaran dan pengetahuan tentang diri sendiri. Kecerdasan ini melibatkan kemampuan untuk secara akurat dan realistis menciptakan gambaran mengenai diri sendiri (kekuatan dan kelemahan); kesadaran akan mood atau kondisi emosi dan mental diri sendiri, kesadaran akan tujuan, motivasi, keinginan, proses berpikir, dan kemampuan untuk melakukan disiplin diri, mengerti diri sendiri dan harga diri.

Dengan kecerdasan ini selain mampu untuk mengerti perasaan, emosi, motivasi diri sendiri, menilai, dan mempertimbangkan proses berpikir, kita juga dapat menyimpulkan tindakan atau perilaku apa yang akan mengikuti semua proses internal ini. Semakin kita dapat menyadari dan membawa perasaan dan emosi kita ke level pemikiran sadar, kita akan semakin baik dalam berhubungan dengan dunia di luar diri kita. Orang dengan kecerdasan intrapersonal yang kuat adalah orang yang mampu memotivasi dirinya sendiri, memiliki tingkat pemahaman yang tinggi dan akurat terhadap dirinya sendiri dan sangat menghargai nilai dan etika moral.

Orang dengan kecerdasan intrapersonal yang berkembang baik akan suka menggunakan jurnal atau diari untuk mencatat hal-hal penting yang ada dalam pikiran mereka dan membantu mereka dalam proses pembelajaran. Selain itu, mereka juga dapat bekerja secara mandiri. Mereka kadang terlihat malu dan agak introvert (tertutup).

7. Kecerdasan Kinestetik

Kecerdasan kinestetik merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan kita dalam menggunakan tubuh kita secara terampil untuk mengungkapkan ide atau pemikiran dan perasaan dan mampu bekerja baik dalam menangani dan memanipulasi obyek. Kecerdasan ini juga meliputi keterampilan fisik dalam bidang koordinasi, keseimbangan, daya tahan, kekuatan, kelenturan, dan kecepatan. Kecerdasan ini sangat menonjol pada diri seorang penari, atlet, pematung, pemusik, aktor, mekanik, dokter bedah, dan ahli permata.

Integrasi gerakan ke dalam proses pembelajaran akan sangat membantu meningkatkan daya ingat karena otak mengingat dan menjangkarkan informasi yang dipelajari dengan memasukkan unsur pengalaman.

Contoh yang mudah adalah bila kita hendak mengajar anak menghapal posisi suatu negara dengan menggunakan peta dunia. Bila sekedar menghapal dengan cara melihat, murid mungkin akan bingung. Untuk membantu murid meningkatkan daya ingatnya, mintalah murid untuk menggambarkan peta itu dalam ukuran yang besar, di lantai, dan minta murid untuk berjalan menuju negara yang anda sebutkan.

Sangat disayangkan, seiring dengan semakin tingginya level pendidikan, kemungkinan murid untuk mengakses dan menggunakan kecerdasan ini semakin berkurang. Sangat jarang kita temukan praktek pengajaran di kelas yang membolehkan murid bergerak aktif. Murid umumnya diwajibkan untuk duduk manis dan diam saat guru mengajar.

Murid kinestetik di kelas dapat diberdayakan dengan menggunakan teknik simulasi, permaianan peran, drama pantomin, perjalanan dan kunjungan ke lingkungan, rehat yang teratur, atau bermain brain gym.

8. Kecerdasan Naturalis

Kecerdasan naturalis adalah kemampuan untuk mengenali, membedakan, menggolongkan, dan membuat kategori terhadap apa yang dijumpai di alam maupun di lingkungan. Inti dari kecerdasan ini adalah kemampuan manusia untuk mengenali tanaman, hewan, dan bagian lain dari alam semesta. Walau pada awalnya kecerdasan ini berkembang sebagai alat untuk manusia dalam berhubungan dengan alam sekitar, perkembangan terakhir dari kecerdasan ini juga meliputi kemampuan untuk membedakan benda buatan manusia seperti mobil, sepatu, pesawat, dan perhiasan.

Mungkin anda, ibu-ibu, akan merasa heran mengapa suami anda mampu mengenali jenis mobil, merk, tipe, dan tahun pembuatan hanya dengan sekali melihat. Padahal bagi ada semua mobil itu sama. Atau mungkin anda pernah bertemu dengan orang yang sangat hobi mengumpulkan perangko, memelihara tanaman atau hewan, pecinta alam, pendaki gunung, semua ini merupakan bentuk aktivitas yang merupakan perwujudan dari kecerdasan naturalis.

Kecerdasan

Apakah Kecerdasan Itu?

Apakah setiap orang dilahirkan dengan kecerdasan yang telah ditakdirkan? Apakah kecerdasan masih bisa ditumbuhkembangkan? Apakah kecerdasan itu dapat diukur? Untuk bisa menjawab semua pertanyaan tersebut, kita harus mengetahui apakah kecerdasan itu? Beberapa ensiklopedi mendefinisikan kecerdasan sebagai berikut.

1. Kecerdasan adalah kemampuan untuk mempelajari atau mengerti dari pengalaman; kemampuan untuk mendapatkan dan mempertahankan pengetahuan; kemampuan mental.

2. Kemampuan untuk memberikan respons secara cepat dan berhasil pada suatu situasi yang baru; kemampuan untuk menggunakan nalar dalam memecahkan masalah.

3. Kemampuan untuk belajar, mengerti, dan bernalar; kemampaun mental.

4. Kemampuan untuk mempelajari fakta-fakta dan keahlian-keahlian serta mampu menerapkan apa yang telah dipelajari, khususnya bila kemampuan ini telah berhasil dikembangkan.

Satu hal yang harus kita pahami adalah sangat sulit mendefinisikan kata cerdas. Ada banyak faktor yang memengaruhi cara kita memberikan definisi, bisa berupa pengalaman hidup, latar belakang pendidikan, kebudayaan, suku, agama, lokasi, dan lain-lain. Namun dari semua definisi yang ada, para ahli sepakat bahwa yang dimaksud dengan cerdas harus mengandung dua aspek berikut.

1. kapasitas untuk belajar dari pengalaman.

2. kemampuan beradaptasi.

Selama ini kita terpaku pada pengertian bahwa orang yang cerdas pasti pintar sekolahnya, nilainya pasti baik. Kita mengukur kecerdasan hanya berdasarkan proses akademik. Kita dengan sangat mudah menentukan kecerdasan seseorang dengan berdasarkan hasil tes IQ (Intelligence Quotient).

Ternyata ada banyak teori kecerdasan yang mendefinisikan kecerdasan sesuai dengan pandangan teori tersebut. Teori kecerdasan yang populer di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Kecerdasan Umum/General Intelligence (G)

Teori kecerdasan umum dicetuskan oleh Charles Spearman, seorang ahli psikologi dari Inggris pada awal 1900. Teori ini berpendapat bahwa manusia mempunyai sebuah kemampuan mental umum yang mendasari semua kemampuannya untuk menangani kerumitan kognitif. Faktor G ini dikaitkan dengan kemampuan untuk melakukan pemecaham masalah, pemikiran abstrak, dan keahlian dalam pembelajaran.

2. Kecerdasan Cair dan Kecerdasan Kristal/Fluid Intelligence and Crystalized Intelligence

Teori kecerdasan ini merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori general intelligence. Dalam teori ini dinyatakan bahwa ada dua macam kecerdasan umum, yaitu kecerdasan cair dan kecerdasan kristal. Kecerdasan cair adalah kecerdasan yang berbasis pada sifat biologis. Kecerdasan cair meningkat sesuai dengan pertambahan usia, mencapai puncak saat dewasa, dan akan menurun pada saat tua karena proses biologis tubuh. Sedangkan kecerdasan kristal adalah kecerdasan yang diperoleh dari proses pembelajaran dan pengalaman hidup. Jenis kecerdasan ini dapat terus meningkat, tidak ada batas maksimal selama manusia masih bisa dan mau belajar. Teori ini dicetuskan oleh Raymond Cattel dan John Horn pada tahun 1960-an.

3. Kecerdasan yang Dapat Dimodifikasi/ Modifiable Intelligence

Teori ini dikembangkan oleh Reuven Feuerstein yang bekerja dengan anak-anak cacat mental. Ia mengidentifikasi tahap-tahap perkembangan kemampuan berpikir dan merancang suatu metode untuk mengajar anak tersebut. Tujuannya adalah mengajarkan keahlian berpikir dan memodifikasi keahlian kognitif dengan dasar kejadian atau pengalaman yang dialami anak tersebut.

4. Kecerdasan Proksimal/Proximal Intelligence

Menurut Leo Vygotsky, cara menguji perkembangan kognitif seorang anak dilakukan tidak hanya dengan memerhatikan kronologis dan usia mental anak, tetapi juga dengan memerhatikan kapasitas potensi anak tersebut. Caranya adalah dengan membandingkan kemampuan anak menyelesaikan suatu permasalahan seorang diri dan dengan mendapat bantuan seorang guru. Perbedaan antara dua hasil pengukuran ini merupakan ukuran wilayah dan arahan terhadap potensi anak.

5. Kecerdasan yang Dapat Dipelajari/Learnable Intelligence

Inti teori yang dicetuskan oleh David Perkins dari Harvard ini adalah bahwa kecerdasan dipengaruhi dan dioperasikan oleh beberapa faktor dalam kehidupan manusia. Faktor tersebut adalah sistem otak, pengalaman hidup, dan kapasitas untuk melakukan pengaturan diri.

6. Kecerdasan Perilaku/Behaviour Intelligence

Profesor Arthur Costa dari Institute of Intelligence di Berkeley melakukan riset terhadap kecerdasan sebagai suatu kumpulan dari kecenderungan perilaku. Yang termasuk kecerdasan adalah keuletan, kemampuan mengatur perilaku impulsif, empati, fleksibilitas dalam berpikir, metakognisi, menguji akurasi dan ketepatan, kemampuan bertanya dan mengajukan pertanyaan, menerapkan pengetahuan yang didapatkan sebelumnya, ketepatan penggunaan bahasa dan pikiran, mengumpulkan data melalui panca indra, kebijaksanaan, rasa ingin tahu, dan kemampuan mengalihkan perasaan.

7. Kecerdasan Tri Tunggal/Triarchic Intelligence

Menurut Prof. Robert J. Stenberg, seorang yang berhasil pasti mempunyai keseimbangan dalam kecerdasan kreatif, analisis, dan praktis. Kecerdasan kreatif meliputi kemampuan mengenali dan merumuskan ide yang baik dan solusi untuk masalah dalam berbagai bidang kehidupan. Kecerdasan analisis digunakan saat secara sadar mengenali dan memecahkan masalah, merumuskan strategi, menyusun dan menyampaikan informasi dengan akurat, mengalokasikan sumber daya, dan memantau hasil yang dicapai. Kecerdasan praktis adalah kecerdasan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk bisa bertahan hidup. Kecerdasan ini meliputi keberhasilan mengatasi perubahan dan kumpulan pengalaman dalam mengatasi berbagai masalah.

8. Kecerdasan Moral

Teori kecerdasan moral dicetuskan oleh Robert Coles. Teori ini didasari oleh bagaimana lahir dan terbentuknya nilai hidup dalam diri seorang anak. Kita menjadi apa yang kita jalani dan apa yang kita jalani dalam hidup kita dituntun oleh orang yang berpengaruh dalam hidup kita. Coles yakin bahwa anak dapat menjadi lebih cerdas dan dapat mempelajari empati, rasa hormat, dan bagaimana hidup berdasarkan pada prinsip dan nilai hidupnya.

9. Kecerdasan Emosional/Emotional Intelligence

Menurut Daniel Goleman, dalam kecerdasan emosi terdapat lima komponen penting dan kombinasi dari masing-masing komponen ini memiliki nilai yang lebih penting dari pada IQ. Elemen tersebut adalah kesadaran diri, manajemen emosi, motivasi, empati, dan mengatur hubungan/relasi.

10. Kecerdasan Majemuk/Multiple Intelligence

Kecerdasan ini dicetuskan oleh Prof. Howard Gardner dari Harvard. Menurutnya, manusia mempunyai lebih dari satu kecerdasan. Teori kecerdasan Gardner mengatakan bahwa seorang manusia paling tidak memiliki delapan kecerdasan, yaitu linguistik, logika-matematika, intrapersonal, interpersonal, naturalis, musikal, visual-spasial, dan kinestetik.

Kedelapan kecerdasan ini bekerja sama dalam satu jalinan yang unik dan rumit. Setiap manusia memiliki kecerdasan ini dengan kadar perkembangan yang berbeda-beda.

Teori ini merupakan terobosan baru yang booming saat ini. Hal ini disebabkan karena menurut teori ini setiap manusia pasti memiliki kecerdasan. Teori ini mendobrak sistem yang selama ini diagung-agungkan dan digunakan dalam mengukur kecerdasan seseorang dengan tes IQ. Dengan teorinya, Howard Gardner mengubah cara kita memandang kecerdasan.

Lebih dari sekedar penjabaran tentang sifat kecerdasan, teori kecerdasan ini telah memengaruhi para pendidik dan sekolah-sekolah di seluruh dunia. Berdasarkan teori ini, banyak dikembangkan metode-metode pengajaran baru.

Penyalahgunaan Tes IQ dan Penggunaannya yang Berlebihan

Uji kecerdasan yang kita kenal selama ini adalah uji kecerdasan yang berawal dari hasil kerja Alfred Binet, seorang psikolog Prancis. Pada tahun 1904, ia diminta oleh pemerintah kota di Paris untuk merancang suatu alat uji yang digunakan untuk memprediksi kemungkinan anak untuk berhasil atau gagal di sekolah. Alat ini juga digunakan untuk mengenali anak-anak dengan mental terbelakang dan membutuhkan bantuan ekstra. Saat itulah, tes kecerdasan standar yang pertama di dunia lahir.

Belakangan, peneliti lain mengembangkan teknik pemberian serangkaian pertanyaan kepada anak-anak. Mereka mencatat pertanyaan yang dapat dijawab dengan betul oleh hampir semua anak, pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh sebagian kecil, dan pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh seorang pun. Informasi ini digunakan untuk merancang sebuah tes yang akan membedakan tingkat-tingkat pengetahuan siswa, disusun sedemikian rupa sehingga skor 100 akan menunjukkan kecerdasan rata-rata. Gagasan bahwa kecerdasan dapat diukur secara obyektif dan dapat dilaporkan dengan sebuah skor akhirnya berakar. Hampir seabad kemudian, banyak sekali tes standar tersedia untuk beragam tujuan, dan semuanya didasarkan pada pemikiran Binet bahwa sebuah tes dapat menghasilkan angka yang menggambarkan seluruh kemampuan dan potensi seseorang.

Tentu saja, kita tahu ini omong kosong. Bagaimana mungkin seluruh kemampuan dan potensi seseorang dapat digambarkan oleh sebuah tes, apalagi sebuah angka. Tetapi masih banyak keputusan penting dalam pendidikan, termasuk apakah seorang murid dapat diterima di sebuah sekolah, sangat dipengaruhi oleh sebuah tes atau skor. Meskipun tes dan skornya dianggap tidak masuk akal, masih banyak orang terus menggunakan model IQ dan mengasumsikan bahwa ada ukuran yang bisa menilai kecerdasan individu.

Renungkan kalimat yang ditulis oleh John Lennon berikut!

“Saya menyadari apa itu jenius pada usia 8, 9, 10... Saya selalu bertanya, ‘Mengapa tidak ada seorang pun yang menyadari kalau saya jenius? Di sekolah, tidakkah mereka melihat bahwa saya jauh lebih pintar dari murid lainnya? Tidakkah mereka melihat bahwa para guru itu sebenarnya orang yang bodoh? Bahwa semua informasi yang mereka miliki itu sama sekali tidak saya butuhkan,’ Ini sangat jelas bagi saya. Mengapa mereka tidak memasukkan saya ke sekolah seni saja? Mengapa mereka tidak melatih saya? Saya berbeda, saya selalu berbeda. Mengapa tidak ada satu orang pun menyadari hal ini?”

Meskipun berbagai jenis tes IQ punya perannya sendiri dan dapat digunakan dalam banyak hal secara absah, sering terjadi penyalahgunaan dan penggunaan berlebihan. Penyalahgunaan dan penggunaan berlebihan terjadi karena IQ mudah digunakan, murah, dan diterima (bahkan ditunggu-tunggu) oleh masyarakat.

Tes prestasi dan tes IQ massal bisa sangat murah. Murid-murid melingkari jawaban mereka dan lembar jawaban itu dikirimkan untuk diperiksa dengan mesin. Tes yang relatif tidak mahal ini menarik karena banyak sekolah beroperasi dengan dana ketat dan masyarakat terbiasa dengan tes tersebut.

Kelebihan tes standar adalah bahwa tes ini dapat diandalkan, memberikan skor yang sama sepanjang waktu, dan dapat dibandingkan walaupun dilakukan pada tempat dan waktu yang berbeda. Kelemahannya adalah bahwa tes ini belum tentu absah; apa yang diukur mungkin berbeda dengan apa yang sesungguhnya ingin dinilai. Sebagai contoh, tes standar berformat pilihan berganda yang meminta siswa memilih wacana terbaik dari empat pilihan, mungkin saja menilai ketrampilan tertentu, tetapi jelas bukan ketrampilan menulis. Ketrampilan menulis hanya dapat ditentukan dengan meminta murid untuk menulis. Menilai kemampuan menulis siswa dengan menyuruh mereka memilih tulisan yang baik mungkin bisa saja diandalkan, tetapi tentu saja tidak sah.

Namun, masalah terbesar dari tes standar dan model IQ adalah tes-tes ini mengukur kecerdasan secara sempit, berdasarkan seberapa baik murid dapat membaca dan menghitung. Hanya sedikit dari kemampuan murid yang bisa dinilai, yaitu kecerdasan akademis saja, terutama kecerdasan berbahasa dan logika matematika. Meskipun patut disesalkan, kecenderungan menilai hanya kecerdasan berbahasa dan logika matematika tidaklah mengagetkan karena selama beberapa dekade, sekolah berfokus hanya pada kecerdasan akademis. Kecenderungan ini ditambah kenyataan bahwa relatif lebih mudah merancang tes tertulis yang bisa diandalkan (walaupun tidak selalu absah) untuk menilai kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Merancang tes yang dapat diandalkan dan absah untuk menilai bakat musik dan seni siswa, misalnya, jelas jauh lebih sulit dan lebih mahal.

Karena tes standar sangat terfokus pada kecerdasan akademis, tes ini dapat memperkirakan keberhasilan anak di sekolah di masa mendatang. Akan tetapi, keberhasilan di dunia nyata mencakup lebih dari sekadar kecakapan berbahasa dan logika matematika. Oleh karena itu, tes standar menawarkan informasi prakiraan yang kurang membantu tentang keberhasilan dalam kehidupan. Sudah sangat lama kita bersembunyi di balik tes “obyektif”, yang memberikan hasil konsisten dan dapat dipercaya, mengabaikan fakta bahwa tes ini hanya mengukur sepenggal kecil sebuah gambar.

Dan karena kita memusatkan tenaga pada hal-hal yang kita ukur, pada akhirnya kita memberikan perhatian penuh pada kecerdasan akademis, yang mudah diukur melalui tes pilihan ganda.

Hal yang Memengaruhi Perkembangan Kecerdasan

Seperti halnya kita percaya bahwa kecerdasan identik dengan hasil tes IQ, selama ini kita juga percaya bahwa kecerdasan semata-mata ditentukan oleh faktor genetik atau keturunan. Kepercayaan ini bertahan cukup lama hingga para ahli menemukan hal penting yang turut berperan dalam menentukan perkembangan kecerdasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut adalah sebagai berikut.

1. Lingkungan

Lingkungan yang kaya akan stimulus dan tantangan dengan kadar yang seimbang dan ditunjang dengan faktor dukungan dan pemberdayaan, akan menguatkan ‘otot’ mental dan kecerdasan. Dr. Marian Diamond melakukan percobaan pada tikus dan membuktikan bahwa lingkungan yang kaya stimulasi sangat membantu pertumbuhan koneksi sel otak. Hal ini dapat terjadi pula pada manusia.

2. Kemauan dan Keputusan

Faktor kedua yang sangat erat hubungannya dengan faktor lingkungan adalah faktor kemauan dan keputusan. Kedua faktor ini adalah faktor motivasi. Motivasi yang positif akan muncul sejalan dengan lingkungan yang kondusif. Sebaliknya, bila lingkungannya sama sekali tidak kondusif atau menantang, otak yang paling cerdas sekalipun tidak akan dapat mengembangkan potensi intelektualnya.

3. Pengalaman Hidup

Menurut hasil riset terkini, potensi otak kita berkembang sejalan dengan pengalaman hidup, khususnya pada masa bayi dan kanak-kanak. Bayi yang lapar, lalu menangis, kemudian mendapatkan perhatian dan diberi susu, akan merasakan suatu perasaan sukses. Sebaliknya, bayi yang dibiarkan menangis dalam waktu lama tanpa mendapat perhatian akan merasakan kegagalan. Hal-hal kecil yang menunjukkan sukses maupun kegagalan yang dialami oleh anak, bila terjadi berulang-ulang akan menjadi suatu program yang menentukan seberapa besar potensi kecerdasan yang digunakan.

4. Genetika

Saat ini para pakar masih berbeda pendapat mengenai besarnya peran genetika atau keturunan dan faktor lingkungan dalam menentukan perkembangan kecerdasan. Namun, hasil riset di bidang ilmu kognitif dan neuroscience menunjukkan bahwa keduanya berpengaruh. Seperti yang telah dijelaskan, pengalaman hidup mempunyai pengaruh terhadap respons kognitif. Gen kita sebaliknya mempunyai pengaruh pada kewaspadaan, memori, kemampuan sensori, dan juga faktor kecerdasan lainnya.

5. Gaya Hidup

Entah kita sadari atau tidak, pilihan gaya hidup yang kita jalani sangat berpengaruh terhadap level perkembangan kognitif kita. Mulai dari makanan yang kita makan, orang yang menjadi kawan kita, jumlah jam tidur, olahraga, obat, minuman, merokok, seberapa sering kita menggunakan otak kita untuk berpikir, apa level berpikir yang kita gunakan, dan masih banyak faktor lain.

Stephen Ceci berdasarkan penelitiannya menemukan ada faktor lain yang memengaruhi perkembangan kecerdasan manusia. Faktor tersebut adalah sebagai berikut.

1. Sekolah

Anak yang tetap belajar di sekolah akan memiliki nilai IQ yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang drop out. Untuk setiap tahun sekolah, terdapat peningkatan sekitar 3,5 poin. Ini menunjukkan bahwa ada faktor lain yang berperan dalam pembentukan kecerdasan.

2. ASI (Air Susu Ibu)

Air susu ibu ternyata sangat berguna untuk meningkatkan kecerdasan. Hasil penelitian Ceci, pada anak usia 3 tahun, menunjukkan bahwa anak yang diberi ASI mempunyai nilai IQ 3 hingga 8 poin lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak diberi ASI. Tidak ada yang tahu secara pasti mengapa ini bisa terjadi. Bisa jadi karena faktor sistem kekebalan tubuh yang ada pada ASI membantu kesehatan anak sehingga anak tidak mudah sakit. Dengan demikian, anak dapat belajar dengan lebih optimal. Selain itu, kandungan asam lemak Omega 3 dalam ASI sangat tinggi. Asam lemak Omega 3 ini yang digunakan untuk membangun membran sel dan juga selubung myelin yang menyelubungi axon dan meningkatkan kecepatan transmisi impuls listrik antarneuron/sel otak.

3. Nutrisi

Faktor makanan juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan. Riset terhadap satu juta siswa di New York City menunjukkan bila zat-zat tambahan (nutrisi) tersebut dikeluarkan dari makanan yang biasa dikonsumsi murid, maka segera terjadi kenaikan IQ sebesar 14%. Makanan yang mengandung zat pewarna, pengawet, dan perasa sintesis sangat tidak baik pengaruhnya.

Mengapa Orang Ber-IQ Tinggi Gagal?

Bicara kecerdasan memang sangat sulit. Setiap orang punya persepsi yang berbeda. Yang selalu orang pakai adalah patokan IQ. Umumnya orang berpendapat dan meyakini bahwa IQ yang tinggi merupakan jaminan keberhasilan hidup. Sebaliknya, IQ yang rendah akan sangat merugikan dan merupakan sebab utama orang gagal. Apakah benar demikian?

Kenyataan yang ada di masyarakat membuktikan IQ bukanlah jaminan. Memang benar kalau IQ sangat membantu keberhasilan dalam bidang akademik. Tapi, apakah IQ menjamin keberhasilan hidup di masyarakat? Kita sering melihat orang yang saat di sekolah dulu prestasinya luar biasa, apakah semuanya berhasil? Sebaliknya, apakah Anda mengenal orang yang dulu sekolahnya biasa-biasa saja, tapi sekarang telah menjadi orang yang sangat berhasil?

Ini membuktikan bahwa IQ bukanlah jaminan seseorang bahwa ia akan berhasil menjalani kehidupannya. Untuk itu, kita harus bisa memberikan bimbingan yang jauh lebih mengarah pada tujuan melatih dan mengembangkan potensi anak yang seutuhnya. IQ dan sekolah memang sangat penting. Namun, nilai bukanlah segalanya.

Yang paling penting adalah bagaimana kita menumbuhkan dan mengembangkan kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki untuk bisa membantu menjalani kehidupan dengan lebih baik dan berhasil, karena “setiap manusia mempunyai lebih dari satu kecerdasan”.